- Back to Home »
- kisah »
- Hinata
Posted by : Unknown
Rabu, 14 November 2012
"Hinata", setiap orang yang mendengar namanya pasti menebak itu nama orang jepang.
Memang
benar, ia lahir di jepang tapi di besarkan di Indonesia. Ayahnya orang
Indonesia sedangkan ibunya asli orang jepang. Aku mengenalnya saat
hari pertama aku masuk SD. Saat itu di belakang kelasku yang sepi, aku
melihat dua kakak kelasku, entah mereka kelas berapa? Sedang meminta
uang gadis kecil berambut pendek secara paksa. Berlaga jagoan aku
mendekat, kemudian berteriak dengan lantang kepada kedua kakak kelasku,
"Hey", kembalikan uangnya!!!" Kataku yang saat itu sudah berada beberapa meter dari mereka.
Kedua
anak itu terlihat terkejut, dan mengalihkan perhatiannya padaku.
Kemudian mereka mendekatiku sampai jarak antara kami sangat dekat.
Sesaat mereka tersenyum mengejekku, dan tanpa basa-basi seorang dari
mereka melayangkan tinjunya tepat mengenai hidungku. Spontan aku
tersungkur, hidungku berdarah, tenaganya sangat besar. Tak berhenti di
situ, ia kembali melayangkan tinjunya padaku yang masih terbaring di
rumput. Kali ini tepat di bawah mata kiriku hingga meninggalkan bekas,
biru lebam. Kemudian mereka meninggalkanku begitu saja.
Gadis
kecil itu kemudian mendekatiku yang masih terbaring di atas rumput, ia
menangis melihat keadaanku. Dari tangisanya, aku yakin kalau ia anak
yang manja. Ia terus menangis hingga aku tak tega melihatnya. Akhirnya
aku berusaha menghiburnya dengan melakukan tingkah-tingkah lucu seperti
mengerutkan dahi, menggerak-gerakan alis, memoncongkan mulut, aku
berusaha menciptakan ekspresi lucu agar ia tertawa. Dan saat ia
tertawa, ia terlihat sangat… cantik. Kedua matanya yang sipit
terlihat seperti bulan sabit, bibir merahnya yang mengembang terlihat
seperti merah mawar yang baru merekah, terlihat sangat serasi dengan
hidung kecilnya yang mancung dan kulitnya yang putih merona. Sungguh,
maha sempurna Dzat yang telah mengukir wajahnya.
Melihat ia tertawa akupun ikut tertawa. Hingga sesaat kemudian suasana hening saat kami menghentikan tawa.
Dengan pipi yang memerah gadis kecil itu menatapku, kemudian mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan,
"Hinata. Hinata Hinamori." Ia memperkenalkan diri.
Aku meraih tangannya dan memperkenalkan diriku, "Aku Ilyas. Muhammad Ilyas." Kataku.
Sejak
saat itu kami jadi teman dekat, atau lebih tepat di sebut "sahabat".
Hari-hari kami lalui bersama dengan penuh kegembiraan, berlari-lari di
padang rumput di belakang sekolah, bermain bola di kubangan lumpur
dalam siraman hujan, bermain layang-layang di bawah terik mentari atau
bermain boneka, masak-masakan ataupun permainan lainnya. Apapun yang
aku lakukan bersamanya terasa sangat menyenangkan.
Persahabatan
kami terus berlanjaut sampai kami SMP. Yah, kami sekolah di SMP yang
sama, meskipun kelas yang berbeda. Tapi Kebersamaan kami tak sesering
dulu. Karena kami beda kelas? Bukan. Karena Hinata kini bukan lagi
Hinata kecil yang dulu, bentuk tubuhnya sudah mulai berubah, dadanya
yang mulai membesar, pinggulnya yang mulai melebar dan perubahan bagian
tubuhnya yang lain membuatku merasa risih berlama-lama bersamanya. Tak
hanya itu, rambutnya yang lurus dan panjang, penampilanya yang selalu
menarik, dan caranya tersenyum padaku sering kali membuatku salah
tingkah di depannya. Aku hanya takut cinta dan kasih sayangku kepadanya
sebagai sahabat akan berubah menjadi nafsu birahi yang tak terkendali.
Semakin
hari, Hinata semakin tumbuh menjadi gadis cantik yang mempesona. Dan
hal itu membuatku terpaksa semakin menjauh darinya. Menjauh bukan
karena aku membencinya, tetapi menjauh karena aku menghargainya
sebagaimana seorang muslim menghargai seorang wanita. Aku tak mau
menjadikan ia sebagai obyek kemaksiatan mataku, obyek pikiran kotorku
dengan dalih persahabatan. Bagiku sepert ini lebih baik. Dan, jujur hal
ini tak pernah mudah, berat bagiku.
Tak
selalu bersama Hinata membuat tiga tahun di SMP terasa lama bagiku.
Tapi hal itu tak berlaku bagi siswa yang lain, karena mereka mempunyai
cerita sendiri-sendiri. Yah, bersama atau tak bersama Hinata waktu
terus berjalan membawaku sampai pada hari pengumuman kelulusan.
Hari
itu tak banyak siswa yang berangkat sekolah, sebagian besar dari
mereka duduk manis di rumah menunggu orang tua mereka kembali membawa
selembar kertas yang mampu membuat mereka merasa sangat bahagia karena
dinyatakan lulus, namun juga mampu membuat membuat mereka berduka
karena dinyatakan tidak lulus. Hari itu aku berangkat seperti biasanya.
Aku tak masuk ke kelas karena kelas kami di penuhi para orang tua siswa
yang sedang berdebar-debar hatinya menunggu hasil kerja keras
anak-anaknya selama tiga tahun. Aku duduk menyendiri di bangku taman
depan sekolah, memperhatikan wajah orang tua teman-temanku yang lalu
lalang lewat di depanku. Tiba-tiba saja mataku menemukan sosok Hinata
di antara mereka. Ia berjalan dengan santai menuju ke luar, seperti
biasa pakaiannya sangat rapi dan modis. Ia berjalan dengan tegap
seperti petugas pengibar bendera, kakinya yang panjang silang menyilang
tangkas tak kalah indahnya dengan para supermodel yang melangkah di
atas catwalk. Rambut lurusnya yang tertiup angin membuat ia semakin
mempesona. Sesaat aku merasa setetes embun mengalir membasahi hatiku
hingga aku merasakan damai yang tak terlukiskan. Dan saat aku menatap
wajah cantiknya tiba-tiba saja ia menengok ke arahku dengan senyum yang
sangat menawan. Mata kami bertemu, saling menatap, tetapi dengan cepat
aku menunduk. "Astaghfirullohal"adzim." .Aku beristighfar dalam hati,
berusaha menenangkan detak jantungku yang saat itu berdetak sangat
kencang dan tak beraturan.
Sejak
saat itu Hinata menghilang dari kehidupanku, aku tak pernah tahu
kemana ia pergi. Kini aku hanya mampu mengenang saat-saat indah yang
kulalui bersamanya. Sering aku mencoba melupakanya, namun senyum
manisnya tak bosan-bosan hadir dalam khayalku. Terkadang aku tersenyum
mengingatnya, tetapi kemudian menangis saat sadar ia tak lagi di
sisiku. Hingga aku sadar betapa aku merindukannya dan betapa aku
mencintainya.
***
Delapan tahun berlalu begitu lama tanpanya.
Saat
itu hari Minggu, aku sendirian di rumah. Bapak, ibu dan Iqlina adikku
sedang pergi ke rumah kakek. Sebenarnya aku ingin sekali ikut, tapi
jika aku ikut pergi siapa yang akan menjaga rumah. Mau tidak mau, yah,
terpaksa aku jaga rumah.
Aku
duduk di kursi di ruang tamu. Membaca sebuah novel dengan judul
"Pudarnya Pesona Cleopatra" karya Habiburrahman El Shirazy. Baru
membaca beberapa lembar, tiba-tiba aku mendengar seseorang mengetuk
pintu di iringi ucapan salam. Suara anak perempuan. Aku bangun dari
tempat dudukku, meletakan buku yang sedang kubaca di atas meja dan
berjalan menuju pintu. Tangan kananku menggengam pegangan pintu,
kemudian aku membuka pintu dengan perlahan. Dan saat pintu terbuka
kulihat gadis cantik berjilbab biru tepat di depanku. Spontan jantungku
berdetak lebih cepat dari biasanya sampai-sampai otot-otot yang
mengikatnya seakan tak kuat lagi menahanya. Aku merasa seperti telah
membuka pintu surga dan menjumpai bidadari yang menghuninya.
"Astaghfirullohal'adzim"
Astaghfirullohal'adzim." Aku beristighfar dalam hati berulang kali
berusaha menenangkan diri dan menguasai keadaan.
"Maaf Mbak, Iqlinanya sedang pergi." Kataku sok tau, mengira ia teman adikku.
"Ilyas." Gadis itu menyebut namaku.
Kembali
kurasakan detak jantung yang tak beraturan. Di tambah dengan
kebingungan, bagaimana gadis cantik ini mengenalku? Apakah adikku
pernah bercerita tentangku padanya?
"Maaf Mbak siapa yah?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Wah, sombong kamu, masa lupa sih? Ini aku Hinata." Jawab gadis itu.
Mendengar
jawabanya hatiku seakan meledak, mengeluarkan serpihan-serpihan kuntum
bunga dari dalamnya dan berhamburan menghujaniku.
"Hinata?" Tanyaku yang masih ragu.
"Iya Hinata temanmu, lupa yah? Masa nggak di suruh masuk sih."Ucapnya dengan tersenyum.
Aku
berjalan menuju kursi, hinata mengikuti di belakangku, dan kami pun
duduk. Kami duduk berhadapan. Kupandang wajah gadis itu sesaat dan aku
yakin ia benar-benar Hinata, gadis jepang teman kecilku.
"Ada apa denganmu?" Tanyaku yang bingung melihat perubahan yang terjadi pada dirinya.
"Memang kenapa? Ada yang salah" Ia balik bertanya.
"Ya.., tidak sih. Tapi, tentu ada alasannya dong dengan perubahanmu?"
Tak ada suara, hening.
Hingga akhirnya ia bersuara.
"Alasannya? Karena..." Katanya yang sedikit ragu untuk melanjutkannya.
Kembali tak ada suara. Kulihat pipinya memerah menahan malu, sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya
"Karena..., Ka..rena.., Karna aku mencintaimu." Lanjutnya terbata, kemudian ia menundukan kepala.
Aku terperanjat. Entah rasa seperti apa yang saat itu aku rasakan, sungguh aku tak mampu menjelaskannya.
"apa hubungannya coba?" Aku yang sedikit gugup.
"Apa
kau tau, dari dulu aku mencintaimu. Aku selalu berusaha berpenampilan
menarik di depanmu, berharap kamu mau memujiku. Sembilan tahun, tak
pernah sekalipun kamu memujiku dengan mengatakan "Hari ini kamu cantik
sekali", "Bajumu bagus" atau sekedar mengatakan "Hari ini kamu terlihat
berbeda". Tak pernah..,tak pernah sekalipun. "
Tapi
saat melihat Annisa, satu-satunya siswi berjilbab dikelasku yang saat
itu membacakan Al qur'an dalam acara peringatan Isro mi'roj di sekolah,
kamu langsung memujinya. Tak hanya keindahan suaranya yang, tapi kamu
juga memuji kecantikannya hanya karena ia memakai jilbab. Dan tahukah
kamu betapa irinya aku saat itu. Sebenarnya sejak saat itu juga aku
ingin sekali memakai jilbab, berharap kamu memujiku saat melihatnya.
Tapi aku malu dan aku ragu.
"Setelah
lulus SMP aku dan keluargaku pindah ke Semarang saat itulah aku mulai
mengenakan jilbab. Aku tak malu karena aku baru di situ, tak ada orang
yang mengenalku sebelumnya. Tapi aku masih merasa kurang karena aku tak
bisa membaca Al qur'an seperti Annisa. Hingga kuputuskan untuk
melanjutkan sekolah di SMA yang berbasis Islam. Akhirnya aku bersekolah
di salah satu SMA Islam Terpadu yang ada di kota itu. Disana aku
mengenal Bu Afifah, dari beliaulah aku belajar Al qur'an. Dan dari
beliau pula aku tau tentang Islam lebih dalam, hingga aku merubah
niatku memakai jilbab, dari sekedar mengharap pujianmu menjadi niat
yang ikhlas untuk menjadi muslimah yang lebih baik.
"Dan
setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah di STAIN di Surakarta
fakultas Tarbiyah, sama seperti Bu Afifah dulu. Yah, belialu lulusan
STAIN Surakarta. Aku ingin tau tentang Islam lebih jauh lagi. Mungkin
itulah kisah hidupku saat berpisah darimu."Lanjutnya panjang lebar
Dari
tadi aku diam menyimak ceritanya. Mendengar ceritanya, kekagumanku
semakin bertambah padanya. Hingga akhirnya, akupun memberanikan diri
mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Tiga
bulan kemudian kami menikah. Persahabatan kami berlanjut kembali dalam
rumah tangga kami. Dan tahukah kamu betapa bahagianya aku, karena mata
ini tak perlu lagi diam-diam menatap kecantikannya tapi aku bisa
menatap wajah cantiknya sepuasku. Tangannya kini halal untuk ku genggam
erat-erat, dan tangganku halal untuk membelai rambut indahnya.
Terkadang
aku masih tak percaya, bahwa wanita yang menjadi jodohku adalah Hinata
gadis jepang teman kecilku. Sungguh indah rencana-Mu, ya Robb...
Hinata, Watashi wa anata o aishite.