Posted by : Unknown Rabu, 14 November 2012


 Anak itu terus saja meronta, merengek menolak diajak ibunya ke rumah pamannya.

            “Bu, Amin nggak mau Bu. Amin nggak mau. Amin nggak mau ke rumah paman.” Katanya sambil terus menangis dan memukul-mukul lengan kiri ibunya.

            “Amin nggak mau Bu, huk…huk…Amin nggak mau tinggal di rumah paman Bu, Amin mau tinggal sama ibu, huk…huk…huk…” Ia masih terus menangis hingga menjadi pusat perhatian para penumpang bus lainnya.

            Sementara sang ibu hanya diam, pandangannya menatap ke luar jendela bus, matannya basah dan sedikit memerah. Ia berpura-pura tak perduli pada anaknya yang baru berusia sembilan tahun itu, padahal hatinya begitu iba melihat anaknya yang terus saja menangis. Ia juga tak mau berpisah dengan anaknya, dan tentu saja berat baginya untuk menitipkan anaknya di rumah adik suaminya yang tempatnya jauh dari tempat tinggalnya. Namun apa boleh buat, sepertinya tak ada pilihan lain. Karena baginya kenakalan anak bungsunya ini tak dapat lagi ditoleransi. Yah, ia berharap perilaku anak bungsunya ini akan berubah setelah tinggal bersama pamannya yang seorang tentara.

            Ibu itu masih terdiam, bibirnya yang tertutup terlihat bergetar menahan tangis. Ia mencoba sebisa mungkin menguatkan diri, mencoba menghilangkan rasa iba pada anaknya. Ia ingin anaknya berubah, berubah menjadi anak yang baik, yang tak lagi melakukan kenakalan-kenakalan yang merugikan orang lain. Karena sudah terlalu banyak kenakalan yang dilakukannya, sudah terlalu banyak orang yang dirugikannya.  Ia ingat betul kenakalan terakhir yang dilakukan anak bungsunya ini, saat ia merusak mainan mobil remote control milik temannya karena tak diijinkan meminjamnya. Tak hanya itu, ia juga memukul temannya itu sampai hidungnya berdarah. Dan karena ulah anaknya ini sang ibu harus mengganti mobil remote control yang telah dirusak anaknya sebesar dua ratus ribu rupiah serta biaya dokter seratus ribu rupiah. Baginya yang seorang janda dan hanya bekerja sebagai buruh cuci uang segitu adalah jumlah yang besar. Apa lagi saat ini ia sedang sangat membutuhkannya untuk biaya pendaftaran anaknya yang satu lagi ke SMA. Tapi bukan uang yang membuatnya terpaksa menitipkan anaknya di rumah adik suaminnya. Ia hanya tak mau anaknya tumbuh menjadi orang yang suka merugikan orang lain.

            “Bu…, Amin mau pulang Bu…, Amin mau tinggal sama ibu…huk…huk…huk…”

            Tangisan anaknya menyadarkannya dari lamunan, di usapnya air mata yang tak ia sengaja mengalir di kedua belah pipinya. Sementara beberapa penumpang bus masih memperhatikannya, entah? Apa yang ada dalam benak pikiran mereka. Namun tak sedikit pula yang acuh tak acuh, seperti juga sang sopir yang tetap berkonsentrasi dalam mengemudi tak perduli sedikitpun dengan permasalahan-permasalahan yang sedang dialami para penumpangnya. Sehingga bus terus melaju.
            Wuzzzz…….
                           
              ***

            Mereka telah sampai ke tempat yang mereka tuju, sebuah rumah berukuran kurang lebih tuju puluh meter persegi dengan halaman yang luas dan di pagari tembok setinggi satu setengah meter. Rumah seorang Tentara, duda dengan satu anak lelaki berusia dua puluh tiga tahunan. Yang sudah menunggu kedatangan mereka dari tadi di beranda rumahnya.

            “Bagaimana perjalanannya, lancar?” Kata sang paman menyambut kedatangan Amin dan ibunya.

            “Lancar.” Jawab sang ibu. Sementara amin hanya terdiam, sesenggukkan karena kelelahan menangis.

            “Ayo kita masuk dulu!” Sang paman menawarkan dengan ramah, tak terlihat sedikitpun kalau ia seorang tentara yang hidupnya keras dan sarat dengan kedisiplinan.

            “Nggak perlu, saya langsung pulang saja. Takut kemalaman sampai rumah.” Jawab sang ibu.

            “Saya titip Amin, tolong didik ia agar menjadi anak yang rajin.., yang disiplin!” Lanjut sang ibu.

            “Oh…, yah sudah terserah Mba saja.” Kata sang paman.
            “Ini semua keperluan Amin sudah saya siapkan dalam tas.” Kata sang ibu sambil menyerahkan tas ransel besar kepada adik suaminya.

            “Saya mohon pamit!” Sang ibu menjabat tangan adik suaminya kemudian melangkahkan kaki meninggalkan rumah itu.

            Amin tak membiarkan ibunya pergi, ia menggenggam erat-erat bagian bawah baju ibunya. Ia tak berkata apapun, nafasnya masih terengah-engah. Kemudian sang ibu melepaskan genggaman jari-jari anaknya dari bajunya dengan perlahan. Kemudian menggenggam tangan anaknya dan memandang lekat-lekat anak bungsunya dengan mata berkaca-kaca seraya berkata,

            “Amin, dengarkan ibu! Percayalah ibu akan selalu menyayangi Amin, makanya Amin harus janji sama ibu, Amin akan jadi anak yang baik..,anak yang berprestasi. Amin baik-baik tinggal di sini yah! Dengarkan kata-kata pamanmu. Dan berjanjilah pada ibu, Amin tidak akan kabur dari sini.., Amin jangan kembali ke rumah, biar ibu atau kakakmu saja yang menemuimu kesini! Janji yah!”

            Amin hanya mampu mengangguk. Ia masih sesenggukkan, berusaha menghentikan tangis.

            “Sekarang ibu pulang dulu, Amin jaga diri yah! Jangan nakal!” Sang ibu memalingkan tubuhnya berjalan meninggalkan rumah itu.

            Amin terus saja menatap punggung ibunya yang perlahan menjauhinya dan menghilang dari pandangannya.

            “Sudah..,nggak perlu menangis, ayo masuk!” Sang paman dengan ramah mengajak anak itu masuk. Tangan kanannya yang kekar menepuk-nepuk sayang bahu kanan Amin.

            Tetapi Amin tak memperdulikan ucapan pamannya, ia masih saja berdiri di beranda rumah pamannya. Pandangannya menatap lurus kearah pintu pagar, berharap ibunya kembali, membatalkan niatnya dan membawanya kembali untuk tinggal bersama di rumahnya seperti biasa.

             Sang paman memaklumi tingkah keponakannya itu, ia tahu betul apa yang saat ini sedang dirasakan Amin. Hingga ia pun membiarkan saja apa yang dilakukan Amin, ia meninggalkan anak itu sendirian di beranda.

             Langit tak lagi biru, matahari telah siap kembali ke tempat peraduaannya, sementara Amin masih berdiri di beranda rumah pamannya dalam posisi yang sama. Masih menatap lekat-lekat pintu pagar, dan masih dengan harapan yang sama, berharap ibunya datang untuk menjemputnya. Pamannya yang sejak tadi memperhatikannya dari ruang tamu merasa iba, matanya berkaca-kaca, hingga akhirnya ia keluar menemui keponakannya.

             “Sudahlah! Ayo masuk! Sudah sore, besok kamu harus sekolah di tempat yang baru, kamu perlu cukup istirahat!” Sang paman merangkulnya, mengajaknya masuk kerumah.

                                                ***

           Ia sedang duduk di atas tempat tidur saat sang paman membuka pintu kamarnya, kedua tangannya memeluk erat kedua kakinya yang ia tekuk. Semalaman ia tak tidur, terus memikirkan ibunya.

           “Amin, ayo mandi dan kenakkan seragam sekolahmu. Setelah sarapan Paman akan mengantarmu ke sekolah barumu.” Perintah sang paman.

           Ia bergegas menjalankan perintah sang paman karena ia sudah berjanji pada ibunya untuk mematuhi kata-kata pamannya. Ia mandi, mengenakkan seragam sekolahnya, kemudian beranjak meninggalkan kamarnya menuju meja makan untuk sarapan bersama paman dan saudara sepupunya. Setelah itu ia diantar pamannya dengan sepeda motor ke sekolah barunya.

           Ia memasuki kelas barunya di dampingi gurunya, kemudian sang guru mempersilahkanya untuk memperkenalkan diri di hadapan teman-temannya. Tapi ia hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun. Akhirnya sang gurulah yang meperkenalkannya kepada teman-temannya,

           “Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kalian! Namanya Muhammad Amin Rifa’i, atau biasa dipanggil Amin.” Kata sang guru yang kemudian mempersilahkan Amin duduk.

           Amin duduk di bangku pojok sebelah kanan kelas, matanya terus menatap keluar jendela. Pikirannya terus saja membayangkan ibunya sampai bel tanda sekolah berakhir berbunyi. Teman-temannya sibuk membenahi buku-buku mereka ke dalam tas, sementara Amin.., sejak tadi pagi tak satu bukupun yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Ia berjalan dengan menunduk meninggalkan kelas. Pamannya sudah menunggu di depan sekolah untuk menjemputnya. Dalam perjalanan pulang pamanya berkata kepadanya,

           “Besok kamu berangat sendiri ke sekolah, paman akan membelikanmu sepeda!”

           Ia hanya mengangguk.

            Sesampainya di rumah pamannya kembali berkata,
           “Ganti pakaianmu kemudian makanlah, setelah itu kamu boleh melakukan apa saja. Tapi nanti malam kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh!” Kata pamannya yang mulai menerapkan disiplin.

            Seusai makan ia menghabiskan waktu luangnya untuk berdiri di beranda rumah pamannya. Matanya menatap ke arah pintu pagar, berharap pandangannya menemukan sosok wanita setengah baya yang datang untuk menemuinya. Hatinya terus berharap, ia tak pernah putus asa, karena memang Tuhan tidak menitipkan sifat putus asa pada anak-anak, hanya orang-orang dewasalah yang suka berputus asa. Dan  ketika langit mulai gelap ia tahu bahwa ibunya tak datang. Ia tak kecewa.

            “Mungkin bukan hari ini, mungkin saja besok” Gumamnya dalam hati.
                                   
 ***

            Tiga bulan telah berlalu. Tapi Amin benar-benar tak kenal putus asa, ia tak pernah lelah berdiri di beranda rumah pamannya untuk menghabiskan waktu luangnya. Pandanganya pun tak pernah lelah mencari sosok ibunya di depan pintu pagar rumah pamannya. Hari ini hari ulang tahunnya, ia berharap, hari inilah saatnya. Ia yakin, pasti hari ini wanita itu datang. Hingga setelah dua jam lebih ia berdiri di beranda , pandangannya menemukan yang selama ini ia cari, yah, ibunya. Wanita setengah baya itu berjalan menghampirinya dengan tersenyum dan mata berkaca-kaca. Spontan Amin berlari, ingin sekali rasanya ia memeluk tubuh wanita itu. Kemudian ia menangis dalam pelukan ibunya sejadi-jadinya.

            Senja tiba. Setelah seharian menemani anaknya, sang ibu harus kembali ke rumahnya. Ia memeluk anaknya erat-erat sebelum beranjak pergi, bibirnya bergetar, membisikan sesuatu di telinga anaknya,

            “Amin…, baik-baik yah di sini. Rajin-rajin belajar, buat ibu bangga. Amin di sini saja tak perlu kemana-mana! Nanti ibu akan menemuimu lagi, dan saat itu tiba Amin harus sudah menjadi anak yang berprestasi! Janji yah!”

            Kembali Amin hanya mampu mengangguk, nafasnya terengah-engah menahan tangis.

            Sang ibu berjalan meninggalkan ia pergi, berulang kali ia menoleh melihat anaknya. Sementara Amin juga menatap tubuh ibunya lekat-lekat, tubuh yang selalu ia rindukan siang dan malam.

            Di hari berikutnya Amin masih dengan kebiasaannya berdiri menunggu ibunya di beranda rumah pamannya. Meskipun ia tahu, bahwa ibunya takan kembali secepat itu. Tapi ia tak perduli, karena memang hanya itulah usaha yang bisa ia lakukan untuk bertemu dengan ibunya.

            Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dua tahunpun berlalu. Namun, ibunya tak pernah sekalipun datang lagi menemuinya. Tapi ia tak putus asa, ia masih selalu setia berdiri menunggu ibunya di beranda rumah pamannya. Pandangannya masih saja mencari-cari sosok wanita setengah baya itu, dan ia tak menemukannya. Akan tetapi pandangannya menemukan sosok anak lelaki yang ia kenal wajahnya, ia kakaknya. Ia berjalan menghampiri kakaknya, begitu juga kakaknya, kemudian keduannya berpelukkan.

            Amin memeluk kakaknya kuat-kuat, ia sangat rindu kepadanya meskipun tak sebesar rindunya pada ibunya. Sesaat kemudian ia melepaskan pelukan kakanya dan bertanya,
            “Ibu mana Kak?” Tanyanya sambil menyeka air matanya.
            “A….anu… I..ibu tidak bisa datang.” Jawab kakaknya gagap.
            “Apa ibu sakit Kak?”
            “Tidak., malah ibu titip pesan, katanya kamu harus rajin belajar.”
            “Oh…” Ia sedikit kecewa.
            Kebetulan hari ini hari minggu, ia bermain seharian bersama kakaknya satu-satunya.
                                                            ***
            Hari ini tepat enam tahun lebih empat bulan sejak ia tinggal di rumah pamannya. Hari ini ada acara pelepasan siswa-siswa kelas tiga di SMPnya. Hampir seluruh orang tua siswa hadir dalam acara ini. Seorang guru muda, tampan, penuh karisma menjadi pembawa acaranya.

            “Para Bapak, Para Ibu, dan Anak-anakku sekalian. Acara selanjutnya adalah penyerahan Piala untuk murid terbaik di sekolah kita ini yang telah membuat harum nama sekolah ini. Berbagai prestasi telah berhasil ia raih, di antaranya: ia telah berhasil menjadi juara satu lomba Matematika tingkat Provinsi, juara satu murid teladan tingkat SMP sekota”X”, dan ia juga peraih nilai UAS tertinggi pelajaran Matematika. Bersama kita sambut….! Muhammad Amin Rifa’i.” Kata pembawa acara yang di sambut dengan tepuk tangan para hadirin.

            Amin berjalan menuju panggung. Bapak Kepala sekolah telah berdiri di atas panggung siap memberikan Piala juara satu lomba Matematika tingkat provinsi. Saat serah terima, beberapa orang guru memotretnya untuk didokumentasikan. Kemudian pembawa acara memintanya untuk menyampaikan beberapa kalimat. Namun ia hanya diam, matanya menatap setiap sudut kursi pengunjung. Kembali pandangannya mencari sosok ibunya, berharap sosok wanita setengah baya itu hadir, menatapnya dengan tersenyum, bangga akan prestasi anaknya. Tapi tak ia temukan keberadaannya di sana. Yang terlihat hanya sosok paman dan kakaknya yang duduk di barisan paling belakang.

            Suasana hening menemani kebisuannya. Mereka yang hadir menatap wajah Amin lekat-lekat.
            “Semua ini,
            “Untuk ibuku.” Hanya itulah kata yang Amin ucapkan.
            Amin kembali ke tempat duduknya di barisan depan.

            Acara kembali berlanjut, pertunjukan demi pertunjukan di tampilkan. Dan acara berakhir kira-kira pukul satu siang. Para Pengunjung berhamburan meninggalkan tempat duduknya, begitu juga Amin. Ia berjalan menuju barisan belakang untuk menemui paman dan kakaknya. Tetapi sang paman sudah pergi dari tempat itu beberapa menit yang lalu, yang ia temui hanya kakaknya. Kakaknya memandang Amin dengan perasaan haru, matanya yang basah terus menatap Amin yang berjalan mendekatinya, ia begitu bangga dengan prestasi adiknya itu.

            “Kamu hebat Min, kakak bangga punya adik sepertimu.” Kata sang kakak kepada adiknya yang sudah berada di hadapannya.
            “Ibu mana Kak?” Tanya Amin dengan wajah yang murung.

            Seketika tubuh kakaknya terasa lemas mendengar pertanyaan adiknya itu, entah mengapa? Padahal pertanyaan itu sudah berulang kali ia dengar dari mulut adiknya. Tapi hari ini pertanyaan itu ia rasakan sangat berbeda, pertanyaan itu seakan batu besar yang membebani punggungnya. Hingga perasaan bahagia melihat prestasi adiknya lenyap begitu saja, menguap entah kemana?.

            “Kenapa ibu tak menemuiku Kak? Apa kau tak pernah mengatakan padanya bahwa anaknya Amin telah menjadi anak yang berprestasi, apa kau tak katakan bahwa anaknya Amin sekarang anak yang rajin?”

            Kakaknya diam mematung, lidahnya terasa kelu untuk ia gerakan.

            “Kenapa Kak? Katakan!!! Kenapa Ibu tak menemuiku? Apa ia tak percaya bahwa anaknya Amin kini tak lagi nakal? Apa ia tak percaya kalau anaknya Amin kini berprestasi?” Lanjut Amin memelas, mengharap belas kasihan.

            “Jika ibu masih tak percaya, bawalah piala ini Kak!!! Tunjukan padanya! Dan suruh ia menemuiku Kak! Kumohon padamu!!! Suruh ia menemui Amin anaknya!!! Katakan padanya, anaknya merindukannya!”

           Tak ada suara. Hening udara gerah. Semua yang ada di sekitar mereka seakan menghilang.

           “Ma..maafkan kakak Min!” Sang kakak menundukan kepala,perasaan bersalah membuat ia tak mampu menegakkan kepala di hadapan adiknya.

           “Maafkan Kakak, selama ini kakak telah membohongimu. Semua janji ibu yang ku ceritakan padamu hanyalah dusta belaka, karena……..” Sang kakak ragu melanjutkan ceritanya.

            “Karena apa Kak?” Tanya Amin dengan volume suara sepenuhnya.

            “Karena….karena…. ibu sudah meninggal enam tahun yang lalu. Semenjak berpisah denganmu ibu sering murung. Di saat waktu makan ia melamun, dan saat aku menyadarkannya untuk menyuruhnya segera menghabiskan makananya, ia malah bertanya padaku: ”Zam, apa di rumah paman, adikmu Amin makan dengan lahap seperti biasanya?

             “Dan saat malam dimana seharusnya ibu beristirahat, ia malah duduk melamun di bekas tempat tidurmu, dan saat aku menyuruhnya untuk segera beristirahat, ia malah bertanya: “Zam, apa di rumah paman, adikmu Amin tidur dengan nyenyak?

              “Kemudian aku pernah melihat ibu menangis saat melihat anak-anak tetangga sedang bermain. Saat kutanya mengapa ibu menangis, ia malah balik bertanya: “Zam, apa adikmu Amin punya teman di sana, apa pamannya akan menggendongnya saat ia menangis seperti ibu biasa menggendongnya saat berusaha menghentikan tangisannya?”

              “Lama kelamaan ibu sakit. Dan sebelum meninggal ibu pesan agar kakak tak menceritakan kematiannya padamu, ia hanya menyuruh jika kamu menanyakannya bilang saja: “Ibu akan menemuimu jika kamu tak lagi nakal dan sudah berprestasi.”. Maafkan kakak Min!” Sang kakak berhenti bercerita, diusapnya kedua pipinya yang basah karena air mata.

              Mendengar cerita dari kakaknya Amin merasa aliran-aliran darah dalam tubuhnya tak mau lagi bergerak. Tubuhnya terasa tak bertenaga. Sementara semua yang ada di sekitarnya, serasa meninggalkannya, menghilang entah kemana? membiarkannya sendiri di atas permukaan bumi, sepi. Ia merasa sangat kecil, kerdil dalam pandangan langit. Perasaan bangga yang sempat ada yang ingin ia tunjukan kepada ibunya, menguap bersama harapan-harapannya melihat senyum bahagia ibunya.

              “Bu, tahukah kau? Bertahun-tahun pandanganku mencarimu.”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Dari Pada Bengong - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -